Global Warming: Agama atau Sain Ilmiah?

Category:
Sudah hampir sepuluh tahun ini, saya mengamati, isu pemanasan global (global warming) menjelma menjadi suatu ‘kepercayaan’ yang besar yang mungkin lebih besar dari kepercayaan terhadap agama.
12949850081723830188
sumber: theadmad.com
Debat dan diskusi mengenai global warming sudah mengalami kemandegan sejak lama, lalu yang tersisa hanya ‘dogma’ dan ‘kepercayaan’ belaka. Siapapun yang berani mengotak-atik keyakinan mengenai global warming akan menuai hujatan dari ‘umat global warming’.
Dalam pandangan saya, basis keilmuan dan prinsip-prinsip keilmuan telah tergerus secara progresif oleh kebutuhan masyarakat dunia untuk mengimplementasikan keinginan dan temuan kolektif mereka mengenai global warming.
Sejauh pengetahuan saya yang bukan imuwan, suatu prinsip keilmuan (scientific principle) berawal dari ke-skeptis-an, ketidak(mudah)percayaan, penasaran, kebutuhan akan pembuktian—terlebih-lebih terhadap ide dan temuan kita sendiri.
Ilmu (sain) berpijak pada formulasi hipotesa-hipotesa, pengujian regresi progresif atas hipotesa tersebut, pengulangan, penyesuaian, serta perbaikan yang terus menerus sampai akhirnya menghasilkan model yang secara akurat sama dengan hasil obervasi langsung yang dilakukan.
Dan tentu saja, kapasitas dan kemampuan obeservasi tidak bersifat statis, melainkan mengikuti perkembangan teknologi alat dan perangkat observasi yang digunakan yang seringkali justru menghasilkan pemahaman yang lebih tinggi tingkat akurasinya
Jauh lebih penting lagi, proses dan pengujian terhadap suatu temuan tidak berhenti pada individu atau sekelompok orang (ilmuwan) saja. Penemu mempublikasikan hasil temuannya, sehingga orang (ilmuwan) lain bisa menambahkan, melengkapi, bahkan menguji setiap level proses temuan.
Jika individu/kelompok/pihak yang menguji bisa mengulangi observasi dan menemukan hasil yang sama, maka ilmuwan boleh berpikir bahwa mereka berada di jalur (proses) yang benar. Sebaliknya, jika ada orang (kelompok) lain menghasilkan kesimpulan berbeda melalui metode atau rute observasi yang berbeda, itu berarti kelemahan temuan semakin jelas, dan mengabaikan perbedaan tersebut akan menghasilkan temuan ilmu yang tidak bagus.
Bahaya terbesar dari proses penelitian ilmiah adalah ketika kita memperoleh hasil yang mendukung ‘hipotesa-bias’ yang terlahir dari selektifitas yang tidak kita sadari. Jika kita bersikeras mempertahankan ketersesatan tersebut, maka kita akan membohongi diri sendiri, lalu membuat lintasan dan jejak palsu yang mengaburkan serta tidak berkontribusi terhadap pemahaman dan proses secara keseluruhan.
Berbasis pemikiran sederhana saya seperti di atas ada beberapa proyeksi dan percontohan yang dijadikan pijakan oleh ‘nabi’ kepercayaan global warming (climatologist), yang saya rasa perlu dipertanyakan, diuji validitas-nya:
1. Model proyeksi yang dipergunakan terlihat parsial (tidak terintegrasi) - Ini akan menjadi tidak lengkap jika akan atau tidak merefleksikan susunan planet bumi. Asumsi bahwa susunan udara dan lautan hanya linear atau non-linear saja, sangat bias dan berpotensi bahaya. Pada kenyataannya, udara dan laut bisa bersifat tidak beraturan. Pengurangan sekecil apapun dari proyeksi non-linear berpotensi menimbulkan pengaruh yang besar (misalnya: efek ‘butterfly wings’). Semua orang tahu bahwa proyeksi ini banyak tidak mengikutsertakan berbagai pertimbangan—sehingga kemungkinan error-nya sangat besar.
2. Tidak ada banyak contoh material (bukti kuat) yang dibuka untuk publik - Sejauh ini tidak ada banyak contoh material (bukti-bukti kuat) yang ditunjukkan sebagai bahan pengujian lebih lanjut, tidak juga ada dipublikasikan mengenai model proyeksi yang dipergunakan secara terperinci. Semuanya terkunci rapat, mungkin disimpan ditempat paling rahasia di dunia. Sehingga tidak ada ilmuwan lain (di luar climatologist) yang berkesempatan mempelajari dan melakukan study banding untuk menguji validitas temuan.
3. Belum ada pengujian yang menantang - Sejauh ini, publikasi, konvensi, diskusi, bahkan konferensi resmi lebih banyak berbicara tentang bagaimana menjalankan amanat pencegahan global warming yang bisa melanggengkan kemapanan dan keyakinan akan hal tersebut dibandingkan mempertanyakan kebenaran/validitas temuan. Rasanya sangat wajar jika kemudian timbul kecurigaan: jangan-jangan selama ini semua study dan tentu saja publikasi, hanya berkisar disekitar asumsi dan fakta yang menguatkan model proyeksi awal  saja. Tidak ada yang pernah menantangnya. Etos seperti ini sangat berpotensi mengarahkan kita ke dalam myopia ‘berjamaah’ yang akhirnya membuat proyeksi awal tersebut menjadi memiliki nilai kebenaran mutlak. Sangat berbahaya.
4. Sumber data sangat minim, rentang waktu observasi juga pendek - Sumber data jangka panjang dari model global warming ini berasal dari inti es, lingkar kayu serta lapisan sedimen yang saya ragu apakah itu sesuatu yang mudah untuk diinterpretasikan?. Lalu sumber data tersebut dikawinkan dengan data (yang katanya) akurat yang interval pengukurannya relatif sangat pendek (kurang lebih 250 tahun) dibandingkan usia bumi yang sudah jutaan tahun. Ditambah dengan cakupan observasi yang tidak mengukur semua permukaan bumi. Saya koq hampir yakin model dan study ini mengandung kelemahan dan potensi kesalahan yang sangat besar.
5. Model Linear belum tentu benar - Model uji terakhir yang dipergunakan mengasumsikan beberapa model linear—hubungan antara suhu dengan efek rumah kaca. Sehingga, dengan mengurangi emisi gas buang akan mengurangi akan mengurangi suhu. Model hubungan dan penyimpulan yang sudah sangat mudah terlihat. Namun, pada kenyataannya mungkin hubungan itu bersifat non-linear dan bisa jadi juga bersifat ‘bi-stable’. Jika ternyata itu kebenarannya, maka akan menghasilkan babak baru dalam berpikir—emisi gas buangan akan terus ada bahkan mungkin semakin besar intensitasnya, dan mungkin justru akan membuat global warming menjadi menurun, bahkan tidak ada lagi!
Lalu, apa yang masih bisa kita yakini mengenai global warming? Okay, suhu meningkat terus, ada gas CO2 dan kandungan emisi gas buangan lainnya.  Tetapi, sebuah petaka telah menggerus keyakinan itu–beberapa email para climatologist bocor di University of East Anglia. Dari email-email yang bocor tersebut ditemukan beberapa modifikasi dan perubahan terhadap data mentah kajian mengenai iklim dan global warming!.
Liputan mengenai petaka kebocoran email data mentah global warming tersebur bisa di baca di: The Telegraph, the Associated Press dan CBC News.
Bersamaan dengan meningkatnya skeptis dan keraguan terhadap temuan perubahan iklim akhir-akhir ini, kebocoran email tersebut menjadi semacam amunisi, senjata ampuh bagi mereka yang memiliki kepentingan yang berlawanan.
Yang lebih parah lagi adalah penggunaan kata ‘trick’ di dalam salah satu email yang bocor terebut. Sungguh sebuah kata yang tidak sepantasnya keluar dari seorang ilmuwan (Trick = tipuan)
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mereka berargumentasi disekitar ketersesatan ‘para sahabat nabi’ global warming (climatologist) diantara butir 1 sampai dengan 5 yang saya sebutkan di atas. Mereka tersesat sendiri oleh kengototan-keilmuwan yang bias, bias bersamaan dengan datangnya gelombang kepercayaan publik yang terus membumbung tinggi mengenai global warming. Sebuah pelajaran pahit bagi ilmuwan dan masyarakat luas!
Dalam pandangan saya yang bukan ‘nabi’ global warming, semua pihak seharusnya bersikap kritis (jika perlu skeptis, mungkin lebih baik) mengenai pemanasan global. Global warming bukan masalah kecil. Ini menyangkut kelangsungan hidup planet yang dihuni oleh ribuan spesies mahluk hidup.
Yang saya khawatirkan BUKAN kenyataan bahwa isu global warming hanya rumor, bukan fakta bahwa global warming terbukti tidak benar. Samasekali bukan itu yang saya khawatirkan.
Yang saya khawatirkan justru kalau ternyata global warming itu memang sedang terjadi, TETAPI selama ini kita dipandu dengan persepsi dan asumsi yang salah. Sehingga kita melakukan hal-hal yang justru membuat keadaan planet bumi yang kita cintai ini menjadi lebih parah, bukannya membaik.
Kepada para ‘nabi’ dan ’sahabat nabi’ global warming (climatologist), mereka seharusnya merapatkan barisan, berkerja bersama-sama untuk melihat ulang, meneliti ulang, mengakji mana yang perlu diperbaiki, kalau perlu ganti model maupun data penelitiannya. Dan lebih penting lagi, mempublikasikan semua sumber data serta model penilitian secara luas. Sehingga, global warming tidak menjadi agama atau aliran kepercayaan baru, melainkan kajian sains yang bermanfaat.

reef: http://green.kompasiana.com/iklim/2011/01/14/global-warming-agama-atau-sain-ilmiah/

0 Responses to "Global Warming: Agama atau Sain Ilmiah?"

Posting Komentar

Next Prev home